Rabu, 23 Oktober 2013

Shalat Jama' & Qashar serta Pengurusan Jenazah



MAKALAH FIQIH
SHOLAT JAMA’ & QASHAR, serta PENGURUSAN JENAZAH

Diajukan sebagai tugas mata kuliah

Disusun Oleh  :
1.     Roudhotul Jannah                        (201205010070)
2.     Serifah Dini Fitria                        (201205010089)
3.     Alfi Sayyidah                                (201205010117)


Dosen Pembimbing : Dra. Hj. Mihmidati Ya’kub, M.Pd.I


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2013


KATA PENGANTAR

P
uji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya MAKALAH FIQH tentang Sholat. Dengan adanya MAKALAH ini kita dapat mengetahui bagaimana cara melaksanakan Sholat Jama’ & Qashar, serta tahu bagaimana cara sholat jenazah.

Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas mata pelajaran FIQH di FAI UNSURI SURABAYA. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki kami. Serta kami mengucapkan banyak terima kasih untuk pihak-pihak yang telah membantu kami. Semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal kepada mereka yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Amin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

Sidoarjo, September 2013


Penyusun







DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                                                                             ii
Daftar Isi                                                                                                        iii

BAB 1 - PENDAHULUAN                                                                            4
A.         Latar Belakang                                                                       4
B.         Rumusan Masalah                                                                  4
C.         Tujuan                                                                                     4

BAB 2 – PEMBAHASAN                                                                              5
A.    Sholat Jama’                                                                           5
B.    Sholat Qashar                                                                         8
C.    Pengurusan Jenazah                                                               12

BAB 3 – PENUTUP                                                                                       23       
A.         Kesimpulan                                                                            23
                       
Daftar Pustaka                                                                                                            24


1
PENDAHULUAN


A.             Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari – hari, kita sering menemui peristiwa – peristiwa sulit yang membuat kita bingung untuk melakukan sesuatu, padahal kita juga harus mengerjakan ibadah. Misalnya, ketika kita dalam perjalanan kemudian jika waktu shalat telah tiba, apa yang harus kita lakukan? Yang bisa kita lakukan adalah mengerjakannya dengan qashar, jama’ atau jama’ qashar. Semua itu tergantung pada shalat yang akan kita kerjakan dan keadaan kita. Jangan sampai kita tidak mengambil keringanan yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap orang yang meninggal? Tentu kita harus mengurusnya. Hukum mengurus jenazah adalah fardhu kifayah, artinya wajib yang bisa diwakilkan maka gugurlah kewajibannya. Setiap muslim tentu wajib mengetahui tata cara pengurusan jenazah yang sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Maka dari itulah kami menyusun makalah ini untuk memberi penjelasan sedikit tentang Shalat Jama’ & Qashar, serta tata cara Mengurus Jenazah. Selain itu, makalah ini juga ditujukan sebagai tugas mata kuliah Fiqih-1.
B.             Rumusan Masalah
1.     Apa yang dimaksud dengan Sholat Jama’?
2.     Apa yang dimaksud dengan Sholat Qashar?
3.     Bagaimana cara perawatan jenazah?

C.             Tujuan
1.     Untuk mengetahui tentang pengertian Sholat Jama’ & Qashar
2.     Untuk mengetahui cara merawat jenazah



2
PEMBAHASAN

A.             Sholat Jama’
Ketika dalam perjalanan kemudian jika waktu shalat tiba, apa yang harus kita lakukan? Shalat ketika sedang dalam perjalanan adalah shalat Jama’, yaitu menggabungkan dua shalat dalam satu waktu. Kita bisa mengerjakan shalat dhuhur empat rakaat langsung dilanjutkan dengan menjalankan shalat ashar empat rakaat, bisa dikerjakan ketika masuk waktu dhuhur atau ashar. Begitu pula dengan shalat maghrib tiga rakaat, lalu dilanjutkan menjalankan shalat isya’ empat rakaat, bisa dikerjakan ketika masuk maghrib, bisa pula pada waktu isya’. [1]
Maksudnya adalah jika kita bermaksud men-jama’ shalat dhuhur dan Ashar. Maka bisa dikerjakan waktu dhuhur ataupun diwaktu ashar, tapi tidak boleh mengakhirkan waktunya sampai terbenamnya matahari atau waktu ashar hampir habis. Atau, jika men-jama’ shalat maghrib dengan shalat isya’. Maka, tidak boleh mengakhirkan waktu sampai muncul fajar atau ketika masuk waktu subuh.
Ada beberapa dalil yang menjelaskan masalah ini, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Ra. bahwa ketika Rasulullah SAW melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu ashar, kemudian singgah dan men-jama’ keduanya. Sedangkan, jika melakukannya setelah matahari tergelincir, maka beliau mengerjakan shalat dhuhur, lalu berangkat. (Muttafaqun ‘Alaih).
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ingin men-jama’ dua shalat ketikasedang dalam perjalanan, beliau mengakhirkan shalat dhuhur sampai masuk awal waktu ashar, kemudian beliau men-jama’ keduanya. (HR. Muslim)
Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan bahwa jika beliau tergesa – gesa dalam melakukan perjalanan, maka beliau mengakhirkan shalat dhuhur sampai memasuki awal waktu ashar dan men-jama’ keduanya. Beliau mengakhirkan shalat maghrib dan men-jama’-nya dengan shalat isya’ ketika syafaq hilang. [2]
Jama’ dibagi menjadi dua, yaitu Jama’ Taqdim (dahulu) dan Jama’ Ta’khir (terkemudian). Jama’ Taqdim ialah shalat dhuhur dan ashar yang dikerjakan pada waktu dhuhur, serta shalat maghrib dan isya’ dikerjakan pada waktu magrib. Sedangkan  Jama’ Ta’khir ialah shalat dhuhur dan ashar dikerjakan pada waktu ashar, serta shalat maghrib dan isya’ dikerjakan pada waktu isya’. [3]

عَنْ اَنَسٍ قَا لَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَارَحَلَ قَبْلَ اَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ اَخَّرَالظُّهْرَ اِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا فَاِنْزَاغَتْ قَبْلَ اَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
Dari Anas. Ia berkata, “Rasulullah SAW. apabila berangkat dalam perjalanan sebelum tergelincir matahari, maka beliau ta’khirkan shalat dhuhur ke waktu ashar, kemudian beliau turun (berhenti) untuk menjama’ keduanya (dhuhur dan ashar). Jika matahari telah tergelincir sebelum beliau berangkat, maka beliau shalat dhuhur dahulu, kemudian baru beliau naik kendaraan.” (HR. Bukhari Muslim)
Hukum Men-Jama’ Shalat
Ada beberapa pendapat mengenai hukum boleh dan tidaknya men-Jama’ shalat ketika sedang dalam perjalanan :
1)     Jumhur ulama’ berpendapat bahwa seseorang yang berada dalam perjalanan, diperbolehkan men-jama’ shalat dhuhur dengan shalat ashar, shalat maghrib dengan shalat isya’, baik taqdim maupun ta’khir.
2)     Hasan, Ibrahim Nakha’i, Abu Hanifah, dan pengikutnya berpendapat bahwa seseorang yang berada dalam perjalanan, tidak boleh men-jama’ shalat sama sekali, kecuali di Muzdalifah. Riwayat – riwayat yang ada merupakan penjelasan dari bentuk jama’ shury, yaitu mengerjakan shalat dhuhur pada waktu paling akhir, dan mengerjakan shalat ashar pada waktu paling awal. Atau, mengerjakan shalat maghrib pada waktu paling akhir, dan mengerjakan shalat isya’ pada waktu paling awal, sehingga seolah – olah keduanya di-jama’, digabungkan, padahal tidak.
3)     Laits bin Saad, dan pendapat Imam Malik bin Anas yang paling masyur mengatakan bahwa hukum men-jama’ shalat hanya berlaku bagi seseorang yang mengalami kepayahan dalam perjalanan. [4]
4)     Ibnu Hazm, sebagian madzhab Imam Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anas, mengatakan ketika seseorang berada dalam perjalanan, maka ia boleh melakukan jama’ ta’khir, yaitu menggabungkan shalat dhuhur dan ashar pada waktu ashar, menggabungkan shalat maghrib dan isya’ pada waktu isya’, dan tidak boleh melakukan jama’ taqdim. [5]

Catatan Tambahan :
1.     Bermakmum dengan Imam yang Mukim
Misalnya, jika sedang dalam perjalanan ke suatu daerah. Kemudian, bus yang kita naiki berhenti di Masjid yang di dalamnya sedang dilaksanakan shalat dhuhur dengan berjama’ah. Tentunya, yang menjadi imam shalat adalah orang mukim dan mengerjakan shalat dengan jumlah rakaat yang sempurna. Dalam keadaan seperti ini, apa yang harus di lakukakan?
Kita harus menjadi makmum dengan imam tersebut, dan tetap menyempurnakan jumlah rakaat shalat, yakni misalnya shalat dhuhur, harus dikerjakan dengan empat rakaat. Rasulullah SAW. bersabda, “Imam itu untuk diikuti.” (HR. Abu Daud)
Abdullah bin Abbas Ra. pernah ditanya tentang seorang yang sedang berada dalam perjalanan dan bermakmum dengan seseorang yang mukim. Ia menjawab, ”Itulah sunnahnya. Jika engkau mendengar seruan azar, maka sambutlah seruannya dan sempurnakanlah bersama imam. Bila engkau mengerjakan shalat bersamanya hanya dua rakaat saja, maka engkau harus menyempurnakan dua rakaat lainnya.”
Dan, apabila mendapati Imam telaj mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat, maka kita harus tetap menyempurnakan rakaat lainnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Apa yang kalian dapati, maka kerjakanlah. Dan apa yang tidak kalian dapatkan, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari)
2.     Menjadi Imam bagi Orang Mukim
Dalam hal ini, kita boleh saja menjadi imam. Ketika kita menyempurnakan bilangan rakaat shalat, maka tidak masalah. Namun, jika kita bermaksud untuk men-qashar shalat, maka kita harus menyampaikan status kita kepada orang yang mukim dan menyuruh mereka untuk menyempurnakan bilangan rakaat setelah kita salam. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. kepada penduduk Makkah, “Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian, karena kami adalah orang – orang yang sedang dalam perjalanan.” (HR. Baihaqi)[6]

B.             Shalat Qashar
Shalat qashar artinya shalat yang diringkaskan bilangan rakaatnya, yaitu di antara shalat fardhu yang mestinya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. Shalat yang boleh di qashar hanya shalat dhuhur, ashar, dan isya’. Adapun maghrib dan subuh tetap sebagaimana biasa,  tidak boleh di qashar.
Ketika sedang dalam perjalanan, kita boleh men-qashar (memendekkan) jumlah rakaat shalat, yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat. Ini sesuai dengan firman Allah SWT :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ االصَّلَوَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوآ ج  إِنَّ الْكَفِرِيْنَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang – orang kafir. Sesungguhnya orang – orang kafir itu adalah musuh nyata bagimu.” (QS. An-Nisa’ [4]:101)

Pada suatu hari, Ya’la bin Umayyah bertanya kepada Umar bin Khattab Ra. “Apabila kamu sedang berpergian, maka tidak ada masalah jika kamu men-qashar shalat, karena takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya, orang-orang kafir itu memang musuh yang nyata bagimu. Nah, bukankah sekarang sudah aman?”
Umar menjawab, “saya pernah heran sebagaimana dirimu. Kemudian, saya menanyakannya kepada Rosulullah SAW. dan menjawab, Men-qashar shalat adalah shadaqah yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada kalian, maka terimalah shadaqah dari-Nya.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i).
Umar bin khathab Ra. juga pernah mengatakan, “shalat safar jumlah rakaatnya itu dua. Shalat jum’at jumlah rakaatnya juga dua, dan shalat ‘id jumlah rakaatnya ada dua,  sempurna tanpa qashar, sesuai dengan sabda Nabi kalian , Muhammad Saw.”
Aisyah Ra. berkata, “Ketika Allah Swt. Mewajibkan shalat, maka jumlah rakaat pada masing-masing shalat hanyalah 2 rakaat, baik bagi yang mukim maupun sedang safar. Kemudian, ditetapkanlah shalat safar dan ditambahkan pula jumlah rakaat shalat untuk yang mukim.”
Abdullah bin Abbas Ra. mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT. mewajibkan shalat melalui sabda Nabi kalian, 2 rakaat untuk musafir dan 4 rakaat untuk yang mukim, serta 1 rakaat ketika khauf  (takut).”
Ibnu Abbas juga pernah ditanya,” Bagaimanakah shalat Rasulullah Saw. ketika sedang dalam perjalanan?” Maka, ia menjawab, “jika sedang dalam perjalanan meninggalkan keluarganya, maka beliau tidak menambah jumlah rakaat shalatnya melebihi 2 rakaat. Itu dilakukannya sampai beliau kembali ke rumah.”
Ibnu abbas juga menceritakan bahwa pada suatu hati ia dan para sahabat lainnya melakukan perjalanan bersama Rasulullah Saw. dari Makkah menuju madinah. Dan tidak ada sesuatu yang kami takutkan selain allah Saw. kami mengakarkan shalat sebanyak 2 rakaat.
Abdullah bin Umar bin Khathab Ra. berkata, “Saya pernah menemani Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, dan beliau tidak menambah jumlah rakaat shalatnya melebihi 2 rakaat, sampai allah Swt. Mencabut nyawanya. Kemudian saya menemani Abu Bakar Shiddiq Ra., dan ia tidak menambah jumlah rakaatnya melebihi 2 rakaat sampai Allah Swt. mencabut nyawanya. Kemudian saya menemani Umar bin Khathab Ra., dan ia tidak menambah jumlah rakaatnya sampai Allah Swt. Mencabut nyawanya. Kemudian, saya menemani Usman  bin Affan Ra., dan ia tidak menambah jumlah rakaatnya melebihi 2 rakaat, sampai Allah Swt. Mencabut nyawanya.”
Ada beberapa pendapat ulama terkait dengan masalah ini.
1.     Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika sedang dalam perjalanan, maka yang paling utama adalah menyempurnakan rakaat. Artinya, men-qashar shalat bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Namun, bila dilakukan, hal itu tidak masalah. Dan, jika meninggalkannya (tidak men-qashar), maka itu lebih baik.
2.     Sebagian pengikut madzhab Maliki mengatakan bahwa jika sedang dalam perjalanan, maka boleh menyempurnakan jumlah rakaatnya dan boleh juga men-qashar-nya. Kita boleh memilih, dan kedudukannya sama – sama kuat. Artinya, jika kita semangat mengerjakan shalat dengan empat rakaat, maka kerjakanlah empat rakaat. Namun, ketika kita ingin mengambil keringanan, maka lakukanlah sebanyak dua rakaat. Senada dengan pendapat ini, Dr. Muhammad Syabir mengatakan, “Qashar shalat itu merupakan rukhshah (keringanan), maka seorang musafir boleh men-qashar shalatnya dan boleh juga menyempurnakannya.”
3.     Imam Ahmad dan pendapat lain dari kalangan mazhab Syafi’i mengatakan jika sedang dalam perjalanan, maka sebaiknya men-qashar shalat. Artinya, meskipun bisa mengerjakan shalat dhuhur sebanyak empat rakaat, maka dalam keadaan seperti ini, sebaiknya melakukannya sebanyak dua rakaat.
Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyah yang mengatakan, “Jika berbicara tentang masalah qashar shalat dalam perjalanan, maka hal itu adalah sunnah yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW. dan para Khulafaur Rasyidin. Beliau tidak pernah mengerjakan shalat ketika sedang dalam perjalanan, kecuali dengan dua rakaat. Ini juga yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan Ra. pada tahun pertama kekhalifahannya. Hanya saja, pada tahun kedua, Utsman menyempurnakan jumlah rakaatnya ketika berada di Mina karena alasan – alasan tertentu.”
Syekh Muhammad Shalih al-Utsaimin juga mengatakan, “Tidak selayaknya seorang muslim menyempurnakan jumlah rakaat shalatnya ketika sedang dalam perjalanan. Minimal kita mengatakan, bahwa hukumnya (menyempurnakan jumlah rakaat) makruh, karena dalil – dalil yang ada saling menguatkan satu sama lainnya. Berusahalah untuk mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat dalam safarmu, dan janganlah melebihi dari itu.”
4.     Sebagian madzhab Maliki dan madzhab Hanbali berpendapat bahwa ketika sedang berada dalam perjalanan, maka hukumnya makruh untuk men-qashar shalat. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah menyempurnakannya. Meskipun demikian, jika tetap melakukan qashar, maka shalat tetap sah.
5.     Imam Abu Hanifah dan sebagian madzhab Maliki yang lain berpendapat bahwa jika berada dalam perjalanan, maka wajib men-qashar shalat. Artinya, bila mengerjakan shalat dhuhur dan ashar, masing – masing sebanyak empat rakaat, maka shalat yang dikerjakan batal.[7]


Syarat sah shalat qashar
·       Perjalanan yang dilakukan bukan perjalanan maksiat (terlarang).
·       Perjalanan berjarak jauh, sekurang – kurangnya 80,640 km atau dibulatkan menjadi 81 km.
Sebagian ulama’ berpendapat, “Tidak hanya disyaratkan dalam perjalanan jauh, tetapi asal dalam perjalanan, jauh ataupun dekat.”
·       Shalat yang di qashar itu ialah shalat adaan (tunai), bukan shalat qadha’.
·       Berniat qashar ketika takbiratul ihram. [8]

Ada beberapa masalah yang telah lama diperdebatkan di kalangan ulama, sejak zaman dulu hingga sekarang, dan belum juga ada titik temunya. Masalahnya adalah dalam jarak berapakah kita dianggap sedang dalam perjalanan? Berikut pendapat para ulama terkait masalah ini :
1.     Jumhur ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan bahwa seseorang dianggap sedang dalam perjalanan (musafir) ketika sudah menempuh jarak kurang lebih 83 km atau 13 farshakh. Sebagian ulama menghitung dengan lamanya perjalanan, yaitu dua hari atau sehari semalam dengan mengendarai unta.
2.     Madzhab Hanafi berpendapat bahwa jarak yang ditempuh adalah tiga malam tiga hari dengan menggunakan unta. Jika kurang dari itu, maka seorang musafir belum boleh men-qashar shalatnya.
3.     Madzhab Zhahiri mengatakan bahwa hal ini tergantung dengan ‘urf (kebiasaan). Jika sedang melakukan perjalanan kurang dari 83 km, dan di kalangan masyarakat sudah dianggap sedang dalam perjalanan, maka sudah termasuk dalam kondisi safar. Sebaliknya, jika melakukan perjalanan lebih dari 83 km, namun tidak dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang yang sedang melakukan perjalanan, maka tidak dianggap sedang melakukan safar.[9]

Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang ketiga, karena Allah SWT. dan Rasulullah SAW. tidak pernah memberikan batasan jarak dalam perjalanan. Sebaiknya, tetapkan saja muthlaqus safar. Jika dalam pandangan masyarakat, perjalanan kita sudah dianggap safar, maka kita memang dalam kondisi safar, dan jika tidak dianggap sebagai safar, maka kita tidak sedang dalam keadaan safar.

D.             Pengurusan Jenazah
Sudah seharusnya keluarga orang yang meninggal atau orang yang datang, untuk bertakziah mempercepat proses penguburan jenazah. Hal tersebut, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.
إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلَا تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلِى قَبْرِهِ
“Apabila salah seorang dari kalian meninggal dunia, maka janganlah kalian membiarkannya. Dan percepatlah proses penguburannya.”

                I.          Memandikan Jenazah
Para ulama telah bersepakat atas diwajibkannya memandikan jenazah seorang muslim. Dan Imam An-Nawawi telah meriwayatkan bahwa hukum memandikan jenazah adalah fardhu kifayah. Adapun orang yang mati syahid tidak perlu dimandikan. Hal tersebut sesuai dengan perintah Rasulullah SAW. untuk menguburkan para syuhada dalam Perang Uhud begitu saja, tanpa memandikan mereka terlebih dahulu. Bahkan, seandainya orang yang mati syahid tersebut dalam keadaan junub, maka mereka juga tetap tidak perlu dimandikan.[10]
Dikisahkan bahwa Handhalah bin Abu Amir keluar menuju medan Perang Uhud. Padahal, pada saat itu ia dalam keadaan junub. Ketika ia mati syahid, Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ صَا حِبَكُمْ تَغْسِلُهُ الْمَلَا ئِكَةُ
“Sahabat kalian tengah dimandikan oleh malaikat.” (HR. Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi)
Tata cara memandikan Jenazah
Para ulama fikih telah berbeda pendapat dalam hal hitungan berapa kali proses ritual memandikan jenazah yang diwajibkan. Maka, sebagian kalangan ulama berpendapat bahwa proses memandikan yang wajib hanyalah satu kali saja.
Ibnu Qudamah berkata “Kewajiban dalam memandikan jenazah hanya satu kali saja. Karena, hal tersebut merupakan bagian dari mandi wajib. Apabila tidak ada najis lain dalam tubuhnya. Hal tersebut sama dengan proses mandi junub dan haid. Dan disunnahkan untuk memandikannya sebanyak tiga kali. Setiap kali memandikan dianjurkan untuk mempergunakan air dan tumbuhan yang kesat.”
Imam An-Nawawi berkata, Sabda Rasulullah SAW. “Mandikanlah sebanyak tiga kali, lima kali atau lebih dari itu, seandainya kalian menganggap itu perlu.”
Dalam sebuah riwayat dikatakan, “Tiga, lima, tujuh, atau lebih dari itu, apabila kalian menganggap itu perlu.” Dan dalam riwayat lain dikatakan, “Mandikanlah dengan mempergunakan bilangan ganjil, tiga atau lima.” Sedang dalam riwayat lain dikatakan, “Mandikanlah dengan mempergunakan bilangan ganjil, lima atau lebih.”
Berbagai riwayat tersebut, memiliki makna yang sama. Sekalipun, memiliki perbedaan dalam kalimat yang dipergunakan. Jadi, yang dimaksud adalah, “Mandikanlah dengan mempergunakan bilangan ganjil, dimulai dari tiga. Seandainya kalian ingin yang lebih bersih, maka mandikanlah sebanyak lima kali. Seandainya kalian ingin yang lebih bersih lagi, maka mandikanlah sebanyak tujuh kali. Dan begitulah seterusnya.”
Oleh karena itu, ringkasan dari riwayat – riwayat ini adalah Bilangan ganjil adalah bilangan yang diperintahkan. Dan hukum memandikan sebanyak tiga kali adalah sunnah. Seandainya dengan memandikan jenazah sebanyak tiga kali telah dirasa bersih, maka tidak perlu lagi memandikannya untuk ke empat kali. Akan tetapi, seandainya belum dirasa bersih, maka orang yang memandikan dapat menambahkan hitungan mandinya. Sampai orang tersebut merasa bahwa si jenazah telah bersih benar. Dan disunnahkan untuk memandikan jenazah dengan hitungan ganjil. Sedangkan yang diwajibkan hanyalah satu kali saja. Dengan memandikan seluruh jasad jenazah secara keseluruhan.[11]
Langkah – langkah dalam memandikan jenazah
1.     Jenazah diletakkan di atas sesuatu yang dapat menopangnya ketika dimandikan. Sebaiknya, posisi jenazah lebih miring sedikit ke arah belakang.
2.     Orang yang memandikan, hendaknya menutupi aurat jenazah dengan kain.
3.     Orang yang memandikan, hendaknya membuka pakaian jenazah secara perlahan – lahan. Seandainya dianggap sulit untuk membukanya, lebih baik dipotong dengan mempergunakan gunting atau alat untuk memotong lainnya.
4.     Orang yang memandikan, hendaknya mempergunakan kain untuk menutup tangannya. Setelah itu, jenazah yang dimandikannya didudukkan secara perlahan – lahan. Kemudian, tekanlah perutnya dengan lembut. Dengan tujuan, agar seluruh kotoran yang ada dalam perutnya keluar. Setelah itu, basuhlah kemaluannya sampai bersih dan kemudian ditutup kembali.
5.     Orang yang memandikan, hendaknya membasahi sepotong kain lain dengan air bersih. Kain ini dipergunakan untuk membersihkan gigi dan lubang hidung jenazah.
6.     Orang yang memandikan, hendaknya mulai mewudhukan jenazah sebanyak tiga kali – tiga kali atau kurang dari itu.
7.     Orang yang memandikan, hendaknya memandikan seluruh jasad jenazah tadi sebanyak tiga, lima, tujuh atau lebih dari itu. Sesuai dengan kebutuhan jasad jenazah sampai bersih.
8.     Akan lebih baik, seandainya air yang dipergunakan dicampurkan dengan tumbuh – tumbuhan yang dapat mengesatkan. Karena, air campuran tersebut dapat memberikan hasil lebih bersih.
9.     Lebih baik lagi, seandainya pada proses pemandian terakhir, mencampurkan kapur barus (atau dapat digantikan dengan sejenis wewangian) dengan air.
10.  Seandainya jenazah tadi memiliki rambut, maka hendaknya yang memandikan jenazah tadi, merapikan rambutnya tersebut. Jangan sampai kusut dan jangan memotongnya sedikitpun.
11.  Seandainya jenazah tersebut perempuan dan rambutnya dikepang, maka hendaknya membuka dan merapikan rambutnya satu per satu. Apabila jenazah tersebut telah dimandikan dan dibersihkan, hendaknya dikepang menjadi tiga bagian. Kemudian, diletakkan di arah belakang.
12.  Seandainya anggota tubuh jenazah tadi berserakan (karena kecelakaan misalnya), maka hendaknya tetap memandikannya dan menyatukan seluruh organ tersebut.
13.  Seandainya setelah dimandikan, dari dalam tubuh jenazah tersebut keluar sesuatu, maka jenazah tersebut tidak perlu dimandikan kembali. Jadi, yang dibersihkan hanyalah sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya saja.
14.  Seandainya kondisi jenazah dalam keadaan rusak karena terbakar atau sebab lainnya, maka dicukupkan dengan mengguyurnya sebanyak satu guyuran, tanpa harus menyentuhnya. Seandainya hal tersebut juga tidak memungkinkan, maka sebagian ulama menyarankan untuk memberikan tayamum kepada jenazah tersebut.[12]
              II.          Mengkafani Jenazah
Memakaikan kain kafan (at-takfiin), merupakan kalimat infinitif yang diambil dari kata (kaffana). Kalimat ini memiliki makna menyelubungi (at-taghthiyyah) dan menutupi (as-satr).
Dari situlah, akhirnya dikenal istilah mengkafani jenazah (kafnu al-mayyit). Karena, orang yang memberikan kafan terhadap jenazah sama artinya dengan menutupi jenazah tersebut. Selain mempergunakan kalimat kaffana, orang – orang juga sering mempergunakan kalimat at-takfin. Oleh karena itu, makna terminologi kalimat ini, tidak keluar dari makna di atas.
Para ulama Islam telah sepakat, bahwa hukum mengkafani jenazah adalah wajib. Tepatnya, fardhu kifayah. Sehingga, seandainya sebagian orang muslim telah mengkafani saudaranya yang telah meninggal, maka sebagian yang lain akan terbebas dari kewajiban tersebut.
Jenazah seseorang, paling tidak harus ditutupi oleh satu lapis kain kafan. Iraqi berkata, “Yang diwajibkan hanyalah satu lapis saja.” Para ulama fikih dari kalangan kita dan kalangan – kalangan yang lain menyatakan bahwa semuanya itu merupakan kewajiban yang datang dari Allah SWT. Sehingga, wasiat sang jenazah tidak dapat menggugurkan kewajiban tersebut. Berbeda dengan lapisan kedua dan ketiga. Maka wasiat yang datang dari jenazah dapat menggugurkan keduanya.
Dan disunnahkan memakaikan kain kafan putih sebanyak tiga lapis. Hal tersebut sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra.

أَنْ رَسُوْلَاللهِ كُفِّنَ فِي ثَلَا ثَةِ أَثْوَابٍ يَمَا نِيَةٍ بِيْضٍ سَحُوْلِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيْهِنَّ قَمِيْصٌ وَلَا عِمَا مَةٌ

“Sesungguhnya Rasulullah SAW ditutup dengan kain kafan putih bersih yang dibawa dari kota Suhul, Yaman, sebanyak tiga lapis. Kain ini terbuat dari bahan katun. Tidak ada satu pun lapisan kain tersebut yang dipergunakan sebagai pakaian atau pun peci.”[13]

Imam An-Nawawi berkata, “Yang disunnahkan untuk jenazah kaum perempuan adalah lima lapis kain kafan. Sebenarnya, seorang laki – laki diperbolehkan untuk memakai lima lapis kain kafan, akan tetapi yang disunnahkan oleh agama, kain tersebut tidak lebih dari tiga lapis. Adapun mempergunakan lebih dari lima lapis, maka merupakan tindakan berlebih – lebihan, baik bagi jenazah perempuan maupun laki – laki.
Adapun anak kecil laki – laki, memiliki kesunnahan yang sama dengan orang laki – laki dewasa, yaitu mempergunakan tiga lapis kain kafan. Ibnu Qudamah menuturkan, bahwa Ahmad berkata, “Anak kecil cukup dikafani dengan kain sobekan kafan saja (tidak selebar untuk orang dewasa). Akan tetapi, seandainya jenazah anak tersebut dikafani sebanyak tiga lapis, maka hal tersebut hukumnya tidak apa – apa. Pendapat ini juga yang disuarakan oleh Ishak dan ulama yang lainnya. Sa’id bin Musayyab, Tsauri, para ulama kufah dan yang lainnya tidak berbeda pendapat seandainya jenazah tersebut hanya mempergunakan satu lapis saja. Dan apabila ia dikafani sebanyak tiga lapis, maka hal tersebut juga tidak apa – apa. Karena, jenazah tersebut adalah jenazah anak laki – laki. Maka, hukumnya sama dengan orang laki – laki dewasa. [14]
Yang Disunnahkan Ketika Mengkafani Jenazah
1.     Disunnahkan agar kain kafan yang digunakan masih bagus
Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَا هُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ

“apabila salah seorang di antara kalian mengkafankan saudaranya, hendaknya ia mengkafani jenazah saudaranya tersebut dengan kafan sebaik – baiknya.”

Imam An-Nawawi berkata, “Dalam hadits di atas memerintahkan umat Islam untuk mempergunakan kain kafan yang masih bagus.” Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bagus di sini, bukanlah menunjuk pada sikap berlebih – lebihan atau pemborosan. Akan tetapi, yang dimaksud di dalamnya adalah kebersihan, kesucian, ketebalan kain, dapat menutupi seluruh jasad jenazah dan seimbang. Dan sebaiknya, kain yang dipergunakan sebagai kafannya tersebut, adalah jenis kain yang biasa dipergunakan ketika jenazah tersebut masih hidup tidak terlalu mahal, juga tidak kain yang terlalu buruk. [15]
2.     Hendaknya, kain kafan yang digunakan masih baru
Imam Syaukani berkata, “Yang menunjukkan bahwa penggunaan kain kafan yang masih baru disunnahkan adalah, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Hakim yang berasal dari hadits Abu Sa’id. Yaitu: ketika ajal datang menjemputnya, ia mencari kain kafan yang masih baru, kemudian ia mempergunakannya. Setelah itu, ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap jenazah akan dibangkatkan dengan kain kafan yang dipergunakannya ketika meninggal dunia.”[16]
3.     Hendaknya kain yang dipergunakan sebagai kafan berwarna putih
Hal tersebut sesuai dengan perkataan Aisyah Ra. “Rasulullah SAW. dikafani dengan mempergunakan tiga lapis kain berwarna putih.” Dan sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
الْبَسُوْا مِنْ ثِيَا بِكُمُ الْبَيَا ضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيْهَا مَوْتَا كُمْ

“Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih. Karena itulah pakaian yang paling bagus. Dan pergunakanlah kain berwarna putih tersebut sebagai kafan kalian ketika datang kematian.”
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa sabda Rasulullah “kain berwarna putih” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mempergunakan kain kafan putih, merupakan perbuatan yang dianjurkan. Dan pendapat ini telah menjadi kesepakatan.
4.     Hendaknya kain tersebut terbuat dari bahan katun
Hal tersebut sesuai dengan perkataan Aisyah Ra. “Bahwa Rasulullah SAW. dikafani dengan mempergunakan tiga lapis kain berwarna putih, yang berasal dari daerah Suhul dan terbuat dari katun.”
Imam An-Nawawi berkata, “Riwayat tersebut menunjukkan adanya anjuran untuk mempergunakan kain kafan yang terbuat dari bahan katun.”
5.     Hendaknya kain kafan tersebut, tidak dipergunakan untuk pakaian ataupu ikat kepala
Hal tersebut sesuai dengan perkataan Aisyah Ra, “Bahwa Rasulullah SAW. dikafani dengan mempergunakan tiga lapis kain Suhul Yamani. Dengan tanpa memakai pakaian ataupun ikat kepala.” Imam Nawawi berkata, “Dianjurkan agar kain kafan tersebut tidak dipergunakan  sebagai baju ataupun pengikat kepala.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Hukum mempergunakan kafan tanpa menjadikannya baju adalah dianjurkan. Sekalipun begitu, tidak makruh hukumnya seandainya kain kafan tersebut dipergunakan sebagai baju.”
6.     Hendaknya kain yang dipergunakan sebagai kafan berjumlah ganjil
Hal tersebut sesuai dengan perkataan Aisyah Ra. “Bahwa Rasulullah SAW dikafani dengan mempergunakan tiga lapis kain kafan.”
7.     Hendaknya kain kafan tersebut dibubuhi wewangian
Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
إِذَا أَجْمَرْتُمُ الْمَيِّتَ فَأَجْمِرُوْهُ ثَلَاثًا

“Apabila kalian membubuhkan wewangian kepada jenazah, maka bubuhkanlah sebanyak tiga kali.”
Akan tetapi, hukum ini tidak diperuntukkan bagi jenazah orang yang tengah melakukan ihram. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah ketika mendengar kematian seseorang yang tengah berihram karena terjatuh dari kendaraannya dan mengalami patah tulang leher. Pada saat itu, Rasulullah bersabda, “Dan jangan kalian pakaikan wewangian kepadanya.”[17]

            III.          Shalat Jenazah
Shalat jenazah tidak memiliki ruku’ ataupun sujud. Hal itu dilakukan agar orang – orang tidak berprasangka bahwa ibadah tersebut ditujukan untuk jenazah. Sehingga, mereka tersesat dengan memiliki keyakinan seperti itu.
Adapun tujuan dilaksanakannya shalat jenazah adalah mendoakan jenazah itu sendiri. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah. Sehingga, ketika satu orang telah melakukan, maka kewajiban tersebut tidakperlu dilakukan lagi oleh yang lain.
Sebenarnya, syarat – syarat sahnya shalat jenazah sama dengan syarat – syarat sahnya shalat yang lain, seperti : suci badan, suci pakaian, suci tempat, menutup aurat, menghadap kiblat, dan memiliki niat.[18]
Keterangan Shalat Jenazah
Pertama, Membaca surat Al-Fatihah. Dan pembacaan tersebut dilakukan setelah melakukan takbir yang pertama. Imam Syaukani berpendapat, bahwa membaca Al-Fatihah setelah takbir pertama hukumnya wajib. Dan diajarkan, agar membaca salah satu surat lain setelah membaca surat Al-Fatihah. Akan tetapi, bacaan ini tidak wajib seperti hukum membaca surat Al-Fatihah.
Kedua, membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Dan pembacaan tersebut dilakukan setelah melakukan takbir yang kedua. Dalam hal ini, tidak ada satu pun teks baku yang menentukan bentuk shalawat kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi, yang paling utama adalah membacakan shalawat Ibrahim yang biasa dibacakan dalam setiap shalat.
Ketiga, membaca doa untuk jenazah. Pembacaan tersebut dilakukan setelah membaca takbir yang ketiga dan keempat.
Keempat, mengucapkan salam. Rasulullah SAW mengucapkan salam sebanyak dua kali. Sama dengan salam yang dilakukannya pada shalat – shalat wajib. Akan tetapi, terkadang beliau melakukan salam sebanyak satu kali saja ke arah kanan. [19]

            IV.          Prosesi Penguburan
1)     Diwajibkan untuk menguburkan jenazah. Karena, menguburkannya adalah bagian dari penghormatan terhadap sang jenazah. Dan Allah telah benar-benar memberi penghormatan terhadap manusia, hidup maupun mati. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak – anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik – baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk  yang telah Kami ciptakan.”

2)     Apabila seseorang meninggal di kapal laut, apabila pihak keluarga yang bersangkutan berniat ingin menguburkannya untuk beberapa saat lagi, dengan pertimbangan jenazah tersebut tidak akan berubah dan tidak ditakutkan rusak, maka jenazah tersebut dapat dibiarkan selama satu atau dua hari. Akan tetapi, seandainya khawatir rusak dan baunya berubah, hendaknya jenazah tersebut dimandikan, dikafankan, dibalsem (biar tidak busuk baunya), dishalatkan dan kemudian diberi beban pemberat (seperti batu) setelah itu ditenggelamkan di lautan.
3)     Tidak diperbolehkan mengubur jenazah di dalam masjid atau rumah. Karena, Rasulullah SAW. sendiri telah menguburkan jenazah kaum muslimin di pekuburan Baqi’, sebagaimana yang telah diterangkan oleh berbagai hadits. Sehingga, tidak ada satu pun ulama salaf yang menceritakan tentang proses penguburan, selain di kuburan Baqi’. Kecuali, hadits – hadits yang menerangkan tentang penguburan Rasulullah di dalam kamarnya. Dan hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kekhususan Rasulullah SAW.[20]
4)     Seorang suami diperbolehkan untuk menguburkan sendiri jenazah istrinya. Hal tersebut sesuai dengan hadits yang datang dari Aisyah Ra. “Pada saat itu, aku bertemu dengan Rasulullah SAW yang sedang bersantai. Kemudian, aku berkata, ‘Oh kepalaku!’ Rasulullah langsung berkomentar, ‘Aku senang, kamu merasakan hal tersebut pada saat aku masih hidup, sehingga aku masih dapat mempersiapkan dirimu dan penguburanmu ketika meninggal dunia.’ Kemudian, Aisyah menjawab, ‘Seakan – akan, pada saat itu aku menjadi pengantin di antara istri – istri engkau!’
5)     Diperbolehkan untuk menguburkan jenazah pada waktu malam. Karena, Rasulullah SAW sendiri telah menguburkan seorang laki – laki yang biasa berdzikir dengan suara keras pada malam hari. Begitu pula dengan jenazah Fatimah binti Rasulullah SAW Ra yang dikuburkan pada waktu malam hari. Begitu pula dengan Abu Bakar, Utsman, Aisyah dan Ibnu Mas’ud, mereka dikuburkan pada saat malam hari.[21]
6)     Proses penguburan dapat dilakukan pada saat kapan pun. Kecuali, pada waktu – waktu ini : Pada saat matahari menjelang terbit, pas matahari di tengah – tengah langit atau saat tenggelam. Dari Uqbah Ra, ia berkata, “Tiga waktu dimana kita dilarang untuk melakukan shalat didalamnya. Atau, menguburkan jenazah kita adalah : ketika marahari terbit sampai meninggi, ketika sinar matahari sama dengan bayangan seseorang yang berdiri sampai matahari tidak terlihat. Dan ketika matahari hendak tenggelam sampai tenggelam sama sekali.” Apabila jenazah tersebut dikhawatirkan akan berubah (membusuk misalnya), maka jenazah tersebut dapat dikebumikan pada waktu – waktu di atas tanpa dimakruhkan.
7)     Disunnahkan untuk memasukkan jenazah ke dalam kubur dengan mendahulukan arah kepalanya terlebih dahulu. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Anas, Abdullah bin Yazid Al-Anshari, Nakha’i, Sya’bi, dan Syafi’i. Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad dengan sanadnya dari Abdullah bin Yazid Al-Anshari, “Bahwasanya Harits berwasiat agar ketika kematian menjemput, hendaknya jenazahnya dikuburkan secara berurutan. Kemudian, jenazah tersebut dishalatkan dan dimasukkan ke dalam kubur. Maka, jenazahnya pun dimasukkan melalui bagian kaki kuburan.” Kemudian, Ibnu Yazid berkata , “Cara seperti ini sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.”
8)     Disunnahkan mengarahkan jenazah di kuburnya pada arah kiblat. Ibnu Hazm berkata, “Hendaknya menjadikan jenazah di dalam kuburnya di atas bagian kanan sisi tubuhnya. Dan mengarahkannya ke arah kiblat. Sedangkan kepala dan kedua kakinya diposisikan di arah kanan kiblat dan kiri kiblat. Dan cara inilah yang dilakukan umat Islam semenjak masa Rasulullah SAW sampai sekarang. Dan inilah yang biasa terjadi di seluruh kuburan yang ada di dunia ini.”
9)     Diperbolehkan meletakkan kain atau pakaian di dalam kuburan. Tepatnya, di bawah jenazah. Hal tersebut sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Abbas Ra, ia berkata, “ Dan dalam kuburan Rasulullah SAW dihamparkan beludru berwarna merah.”
10) Disunnahkan untuk membacakan istighfar untuk jenazah. Tepatnya, ketika selesai proses penguburan. Sebagaimana disunnahkan juga untuk membimbing membacakan berbagai pertanyaan yang akan menentukan jenazah tersebut sebagai seorang yang beriman atau bukan. Dari Utsman Ra, ia berkata, “Apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan seseorang, beliau berdiri di atas kuburan dan berkata :
اسْتَغْفِرُوا وَسَلُوا لَهُ بِ لتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ اْلآ نَ يُسْأَلُ
“Mohonkanlah ampunan dan penetapan bagi jenazah ini. Karena, pada saat ini ia tengah ditanya.”
11) Tidak diperbolehkan untuk mentalqinkan jenazah (menuntun dengan bacaan tertentu) setelah jenazah tersebut dikuburkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang dewasa ini. Karena, pembacaan talqin seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan, tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Seandainya perbuatan ini dinilai baik, niscaya mereka semua akan lebih dahulu melakukannya.[22]
12) Tidak diperbolehkan untuk memotong binatang sembelihan di atas kubur atau ketika mengusung jenazah. Agama Islam melarang umatnya untuk memotong binatang sembelihan di atas kuburan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari perbuatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jahiliyah, menjauhkan diri dari sifat sombong dan angkuh. Diriwayatkan dari Ahmad dan Abu Dawud, dari Anas bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada tradisi penyembelihan (kepada selain Allah) dalam Islam.”
13) Tidak diperbolehkan meletakkan cabang pohon palem, atau bunga – bunga di atas kubur. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh orang – orang yang hidup pada zaman sekarang. Karena, hal tersebut bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh para salafush shalih terdahulu. Di samping, meletakkan benda – benda seperti itu tidak akan berpengaruh terhadap jenazah yang ada di dalam kubur. Sesuatu yang dapat memberikan pengaruh terhadap jenazah adalah amal shalih.[23]

3
PENUTUP

Kesimpulan
·       Sholat Jama’ adalah dua sholat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena sebab-sebab.
·       Sholat Jama’ dibagi menjadi dua, yaitu :
1.     Jama’ Taqdim Yaitu dua shalat dikerjakan pada satu waktu, misalnya dhuhur dan ashar dikerjakan pada waktu dhuhur. Atau maghrib dan isya’ dikerjakan pada waktu magrib.
2.     Jama’ Takhir Yaitu dua shalat dikerjakan pada satu waktu, misalnya dhuhur dan ashar dikerjakan pada waktu ashar. Atau, maghrib dengan isya’ dikerjakan pada waktu isya’.
·       Shalat Qashar Adalah memendekkan sholat yang empat raka’at (Dhuhur, Ashar, dan Isya’) menjadi dua raka’at.
·       Syarat - Syarat Sholat Qashar:
a.     Perjalanan yang dilakukan bukan perjalanan maksiat (terlarang).
b.     Perjalanan berjarak jauh, sekurang – kurangnya 80,640 km atau dibulatkan menjadi 81 km.
c.      Sebagian ulama’ berpendapat, “Tidak hanya disyaratkan dalam perjalanan jauh, tetapi asal dalam perjalanan, jauh ataupun dekat.”
d.     Shalat yang di qashar itu ialah shalat adaan (tunai), bukan shalat qadha’.
e.      Berniat qashar ketika takbiratul ihram.
·       Pengurusan jenazah di dalam syariat Islam terdiri atas :
1.     Memandikan
2.     Mengkafani
3.     Menyalatkan
4.     Menguburkan




DAFTAR PUSTAKA

Sati, Pakih. “Amalan Shalat – Shalat Khusus kala Didera Kesulitan Hidup”. DIVA Press. 2011. Jogjakarta
Rasjid, Sulaiman. “Fiqh Islam”. Sinar Baru Algensindo. 2012. Bandung
Bayumi, Syaikh Muhammad. “Fikih Jenazah”. PUSTAKA AL-KAUTSAR. 2004. Jakarta



[1] Sati, Pakih. “Amalan Shalat-Shalat Khusus kala Didera Kesulitan Hidup”. (Jogjakarta: DIVA Press, 2011), Hal.63
[2] Ibid., Hal. 64
[3] Rasjid, Sulaiman. “Fiqh Islam”. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), Hal. 120
[4] Sati, Pakih. “Amalan Shalat-Shalat Khusus kala Didera Kesulitan Hidup”. (Jogjakarta: DIVA Press, 2011), Hal.64-66
[5] Ibid., Hal. 65-66
[6] Ibid., Hal. 71-73
[7] Ibid., Hal. 43-49
[8] Rasjid, Sulaiman. “Fiqh Islam”. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), Hal. 119-120
[9] Sati, Pakih. “Amalan Shalat-Shalat Khusus kala Didera Kesulitan Hidup”. (Jogjakarta: DIVA Press, 2011). Hal. 37-38

[10] Bayumi, Syaikh Muhammad. “Fikih Jenazah”. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), Hal. 68-69
[11] Ibid., Hal. 70-72
[12] Ibid., Hal. 77-80
[13] Ibid., Hal. 88-90
[14] Ibid., Hal. 94 & 96
[15] Ibid., Hal. 99-100
[16] Ibid., Hal. 101
[17] Ibid., Hal. 103-106
[18] Ibid., Hal. 146
[19] Ibid., Hal. 154,155 & 160
[20] Ibid., Hal 216-218
[21] Ibid., Hal. 220-221
[22] Ibid., Hal. 225-229
[23] Ibid., Hal. 236 & 239


0 komentar:

Posting Komentar