BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
ilmu ushul fiqh, perbuatan perantara itu dikenal dengan sebutan dzariah,
washilah maupun muqoddimah. Pembahasan dzariah menjadi penting
tatkala berkenaan dengan hukum suatu perbuatan perantara. Mengenai perantara
suatu perbuatan yang sudah memiliki hukum memang tak jadi soal semisal wudhu
ketika akan sholat. Tinggal menggunakan kaidah:
“Bagi
perantara itu hukumnya adalah sebagaimana hukum yang berlaku pada apa yang
dituju”
Sudah
akan diketahui. Bahwasannya jikalau memakai kaidah ini maka wudhu juga memiliki
hukum wajib sebagaimana sholat (jenis perantara ini sering disebut muqoddimah).
Dalam
perkembangannya, dzariah terbagi menjadi dua yakni Saddu Dzariah dan Fathu
Dzariah. Dalam tahap lanjut para ulama kemudian menyetujui bahwa istilah
dzariah dipakai ketika merujuk kepada perantara yang berkonotasi negatif,
sedangkan istilah muqoddimah dipakai ketika merujuk perantara yang berkonotasi
positif.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Pengertian Dzari’ah?
2.
Apa
Pengertian Saddu Dzari’ah?
3.
Apa
saja Objek Dzari’ah?
4.
Bagaimana
Kehujjahan Dzari’ah?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Dzari’ah
2.
Untuk
mengetahui pengertian Saddu Dzari’ah serta mengetahui Objek Dzari’ah
3.
Untuk
mengetahui Kehujjahan Dzari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dzari’ah
Secara
bahasa sadd berarti menutup dan
al-zari’ah yang berarti Wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Ada juga yang mengkhususkan dzari’ah
sebagai sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung
kemudharatan. Akan tetapi,Ibn Qoyyim
al-jauziyah (ahli fiqih al hanbali) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’’ah yang bertujuan kepada yang di
anjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian,
yaitu yang dilarang, disebut sadd
al-dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah.
Dengan
demikian , sadd al-dzari’ah berarti
menutup jalan yang mencapai kepada tujuan. Dalam kajian ushulul fiqih sebagiman
telah dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sadd
al-dzari’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau
kejahatan.
B.
Pengertian
Saddu Dzari’ah
Yang dimaksud dengan Saddu Dzari’ah
adalah menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Oleh
karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya
kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat agar
tidak terjadi kerusakan. Misalnya, mencegah orang minum seteguk minuman keras
sekalipun seteguk itu tidak memabukkan, untuk menyumbat jalan sampai kepada
minum yang lebih banyak. Contoh lain, melihat aurat perempuan dilarang, untuk
menyumbat jalan terjadinya perzinaan. [1]
[1] Drs. Chaerul Uman, dkk. Ushul Fiqh
1, 1998. CV. Pustaka Setia, hlm. 187-188
C.
Objek
Dzari’ah
Pada dasarnya yang menjadi objek
Dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi
menjadi empat, yaitu :
1.
Perbuatan yang akibatnya menimbulkan
kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur dibrlsksng pintu rumsh dijalan gelap
yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh kedalamnya.
2. Perbuatan
yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak
menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuatkan khamar. Ini halal
karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi).
3. Perbuatan
yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, tidak diyakini tidak pula
dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat disamakan
dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil
ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak
diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin. Contohnya menjual senjata
diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
4.
Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan
kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti
jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian
keempat ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah
ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan
haram. [2]
D.
Kehujjahan
Saddu Dzari’ah
Di
kalangan ulama ushul terjadi perbedaaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan
sad adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat
menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
[2]
Ibid., hlm. 188-189
Alasan mereka antara lain :
1.
Firman
Allah SWT dalam QS. Al-an’am : 108
ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله
فيسبون الله عدوا بغير علم . . . ( الأنعام : ١٠۸ )
“Dan jangan
kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
2. Hadits Nabi SAW, antara lain :
إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل
والديه. قيل : يا رسول الله, كيف يلعن الرجل والديه؟
قال : يسب ابا الرجل فيسب اباه, ويسب
أمه فيسب أمه. (رواه البخارى ومسلم وابو داود)
“Sesungguhnya sebesar-besar
dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, Lalu Rasulullah SAW.
ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan
Bapaknya. Rasulullah SAW menjawab, “Seseorang yang mencaci maki ayah orang
lain, maka ayahnya juga akan di caci maki orang lain, dan seseorang mencaci
maki ibu orang lain, maka orang lainpun akan mencaci ibunya.”
Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan
Syi’ah dapat menerima sad ad-dzari’ah dalam masalah tertentu saja dan
menolaknya dalam masalah-masalah lain. Imam Syafi’I menerimanya apabila dalam
keadaan udzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meinggalkan
shalat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat dhuhur. Namun, shalat
dhuhurnya harus di lakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja
meninggalkan shalat jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang
guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum Universitas Kairo, Ulama Hanafiyah
dan syafi’iyah menerima sad al-dzari’ah apabila kemafsadatan yang
akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-sekurangnya kemungkinan
besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada
dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul :
1.
Motivasi
seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah
dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar
perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertamarang karena. Perbuatan ini
dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
2.
Dari
segi dampaknya ( akibat ), mislnya seorang muslim mencaci maki sesembahan
orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena
itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah
dan Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam
berhujjah dengan sad al-dzari’ah adalah dalam niat dan akad. Menurut
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah
akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat
dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat
diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka, selama tidak ad indikasi-indikasi
yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah :
المعتبر في اوامر الله المعني
والمعتبر في امورالعبادالاسم و اللفظ
Artinya :
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan
hak-hak hamba adalah lafalnya.”
Akan tetapi, jika tujuan orang
berakad dapat ditangkap dari beberapa indicator yang ada, maka berlaku kaidah :
العبرت في العقود بالمقا صد والماني
لا بالالفاط والمباني
Artinya :
“ Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan
adalah niat dan makna, bukan lafazh dan bentuk formal (ucapan).” [3]
[3] Al-Qarafi,
ll : 32
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah
dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu
perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan
tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya
sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada
perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat
seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya,
dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun
apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatanyya dianggap fasid
(rusak), namun tidak ada efek hukumnya. [4]
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui
kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash
secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah
hukum. [5]
[4] Al-Jauziyyah,
lll : 114, 119, dan IV : 400
[5] Ibnu Hazm, IV : 745- 757
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Secara
bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya ‘jalan menuju
sesuatu’. Sedangkan menurut istilah dzari’ah dikhususkan dengan’sesuatu
yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan
pendapat ini ditentang oeh para ulama’ ushul lainnya, seperti Ibnu Qayyim yang
menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang,
tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian lebih tepat kalu dzari’ah itu
dibagi menjadi dua, yakni saad Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath
Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
·
Saddu Dzari’ah adalah menyumbat segala
sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu, apabila ada
perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka hendaklah
perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat agar tidak terjadi kerusakan.
·
Dalam
memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul
:
a)
Motivasi
seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah
dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar
perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertamarang karena. Perbuatan ini
dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
b)
Dari
segi dampaknya ( akibat ), mislnya seorang muslim mencaci maki sesembahan
orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena
itu, perbuatan seperti itu dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Uman, Chaerul. Ushul Fiqh 1, 1998. CV. Pustaka Setia
0 komentar:
Posting Komentar